Sesi
2 Perkuliahan Psychology And Professional Ethics
BAB II
HAKIKAT KERJA
2.1 Pengertian Psikologi
2.1.1 Taktik Mencari Kerja
Taktik
Mencari kerja haruslah dimiliki setiap manusia yang ingin mendapatkan pekerjaan
yang diinginkan. Adapun tehnik dalam mencari pekerjaan ialah :
a.
Mencari pekerjaan dari media massa (Koran, internet, facebook, tabloid, dll)
b.
Rekan Sejawat (Teman lama, Teman dekat, dll)
c.
Mendatangi langsung lokasi perusahaan yang ingin dimasukan surat lamaran
pekerjaannya.
2.1.2 Nepotisme
Sistem
nepotisme ini masuk dalam induk kepegawaian: “Patronage System” atau sistem
kawan. Dalam sistem dibedakan lagi menjadi dua, yaitu: Spoil System (bersifat
politis) dan Nepotisme/Nepotism (non politis). Kedua sistem tersebut merupakan
sistem yang tidak digunakan dalam kepegawaian (walaupun kenyataannya tumbuh
dengan subur, baik dalam lembaga legislative maupun lembaga eksekutif. Contohnya
anggota DPR yang masih saudara atau keluarga.
.
2.1.3 Kerja
1. Arti Kerja
Kerja
merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu bisa
bermacam-macam, berkembang dan berubah, bahkan seringkali tidak disadari oleh
pelakunya. Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapainya, dan
orang berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukan akan membawanya kepada
suatu keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaan sebelumnya.
Tidak
semua aktifitas dapat dikatakan kerja, menurut Dr. Franz Von Magnis. Pekerjaan
adalah kegiatan yang direncanakan. Jadi pekerjaan itu memerlukan pemikiran yang
khusus dan tidak dapat dijalankan oleh binatang. Yang dilaksanakan tidak hanya
karena pelaksanaan kegiatan itu sendiri menyenangkan, melainkan karena kita mau
dengan sungguh-sungguh mencapai suatu hasil yang kemudian berdiri sendiri atau
sebagai benda, karya, tenaga, dan sebagainya, atau sebagai pelayanan terhadap
masyarakat, termasuk diri sendiri. Kegiatan itu dapat berupa pemakaian tenaga
jasmani dan rohani.
Menurut
Hegel (1770-1831), inti pekerjaan adalah kesadaran manusia. Pekerjaan
memungkinkan orang dapat menyatakan diri secara obyektif ke dunia ini, sehingga
ia dan orang lain dapat memandang dan memahami keberadaan dirinya.
Menurut
Dr. May Smith. Tujuan dari kerja adalah untuk hidup. Dengan demikian, maka
mereka yang menukarkan kegiatan fisik atau kegiatan otak dengan sarana
kebutuhan untuk hidup, berarti bekerja. Maka hanya kegiatan-kegiatan orang yang
bermotivasikan kebutuhan ekonomis sajalah yang bisa dikategorikan sebagai
kerja. Misalnya pekerja sosial, Melakukan kegiatan dalam yayasan sosial, yaitu
mereka yang menjadi anggota dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial tanpa
mendapatkan imbalan apa pun tentulah tidak dapat dikatakan sebagai pekerja.
2.2 Etos Kerja
Bekerja
adalah kewajiban dan dambaan bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan kehidupan sepanjang masa, selama ia mampu berbuat untuk membanting tulang,
memeras keringat dan memutar otak.
Etos
kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau suatu umat terhadap
kerja. Kalau pandangan dan sikap, melihat kerja sebagai suatu hal yang luhur
untuk eksistensi manusia, maka etos kerja itu akan tinggi. Sebaliknya kalau
kalau melihat kerja sebagai suatu hal tak berarti untuk kehidupan manusia,
apalagi kalu sama sekali tidak ada pandangan dan sikap terhadap kerja, maka
etos kerja dengan sendirinya rendah. Untuk itu diperlukan dorongan atau
motivasi.
2.3 Mitos Kerja
Kerja
disini tidak lagi dilihat sebagai karya manusia yang berhakikat untuk mencapai
kedudukan serta pangkat. Sebab, ada kekuatiran bila kedudukan sudah dipegang,
orang menjadi terlena untuk tidak giat lagi.
Menurut Basuki Istnail, 1998 dilihat
dua hambatan kerja sebagai sarana dan nasib sebagai berikut :
1. Pengertian
kerja sebagai sarana
Kerja
hanya mempunyai makna sejauh menghasilkan sesuatu. Akibatnya kerjanya sendiri
tidak bernilai positif. Banyak orang terpaksa bekerja dan melihatnya sebagai
beban hidup. Godaan untuk bermalas-malasan muncul. Bahkan kalau perlu mencuri
waktu dan kurang sabar menunggu hari “weekend”. Muncullah manipulasi jam kerja
meskipun sudah ada “time recorder”.
2. Pandangan
kerja sebagai nasib
Kerja
dirasakan sebagai kewajiban bawaan yang tidak dapat dipungkiri lagi. Untuk
menghindari dua pandangan kerja sebagai nasib sarana, perulah menyingkirkan
unsur fungsional kerja membebani manusia. Kalau unsur fungsional begitu
ditekankan, kerja hanya dilihat sebagai usaha untuk menahan diri terhadap beban
berat dan penyesuaian dirinya terhadap kemiskinan. Karenannya kerja tetap perlu
memiliki niat yang positif. Disini manusia yang menaklukan alam dan materi
menurut kemauan baiknya.
2.4 Motivasi Kerja
Motivasi
sebagai “The Process by which behavior is
energized and directed” (suatu proses, dimana tingkah laku tersebut dipupuk
dan diarahkan), para psikologi memberikan kesamaan antara motif dengan
(dorongan, kebutuhan). Dari batasan diatas, dapat disimpulan bahwa motof adalah
yang melatarbelakngi individu untuk berbuat mencapai tjuan tertentu.
Sedangkan
motivasi ialah pemberian atau penimbulan motif. Atau dapat pula diartikan atau
keadaan menjadi motif. Jadi motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan
semangat atau dorongan kerja. Motovasi kerja dalam psikologi karya biasa
disebut pendorong semangat kerja. Kuat dan lemahnya motivasi kerja seorang
tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasinnya.
Kebutuhan-kebutuhan
manusia pada umumnya dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu :
a. Kebutuhan
primer, kebutuhan seperti makan, haus, seks, tidur, suhu yang menyenangkan dan
lain sebagainya. Kebutuhan ini merupakan syarat kelangsungan hidup seseorang.
Kebutuhan ini sudah ada sejak lahir dan timbul dengan sendirinya.
b. Kebutuhan
Sekunder, yang timbuldari interaksi antara orang denagn lingkungannya seperti
kebutuhan untuk bersaing, bergaul, bercinta, ekspresi diri, harag diri, dan
sebagainya. Kebutuhan inilah yang paling banyak berperan dalam motivasi
seseorang.
Adapun
ciri-ciri motif individu adalah sebagai berikut :
a. Motif
adalah majemuk
b. Motif
dapat berubah-ubah
c. Motif
berbeda-beda bagi individu
d. Beberapa
motif tidak disadari oleh individu
Menurut
Prof. PF. Drucker, motivasi berperan sebagai pendorong kemauan dan unsure-unsur
motif yang ada padanya. Namun, secara pokok unsur motivasi dan tujuan merupakan hal yang tak
terpisahkan. Perilaku orang pada umumnya berorientasi pada tujuan, yang
senantiasa dirangsang dan didorong untuk mencapainya.
Telah
dikemukakan oleh Frederick Herzberg sebuah model motivasi yang mempertajam
pengertian mengenai efektivitas dari motivasi dalam situasi kerja. Menurut
Herzberg, sistem kebutuhan-kebutuhan otang yang mendasari motivasinya, dapat
dibagi menjadi dua dolongan :
a. Hygiene
Factors
-
Status
-
Hubungan antar manusia
-
Supervise
-
Peraturan-peraturan perusahaan dan
administrasi
-
Jaminan dalam pekerjaan
-
Kondisi kerja
-
Gaji
-
Kehidupan pribadi
b. Motivational
factors (motivators)
-
Pekerjaan sendiri
-
Achievement (sifat manusia yang
menginginkan tercapainya hasil)
-
Kemungkinan untuk berkembang
-
Tanggung jawab
-
Kemajuan dalam jabatan
-
Pangkuan
Memotivasi Atasan
Ada
beberapa situasi yang dapat dijadikan titik tolak dan pokok pemikiran mengapa
seorang bawahan perlu “mengatur” atasan mereka menurut Setiawan Tjahjono, 1998
sebagai berikut :
a. Jika
atasan tidak atau kurang mumpuni (in
comtence)
b. Atasan
tidak memiliki motivasi untuk mengembankan
bawahan
c. Ada
sebagian manjer yang merasa tidak pasti dan kurang aman dengan kemampuan mereka
d. Bawahan
tidak jarang menjumpai atasan yang begitu gemar melakukan sesuatunya sendiri
2.5 Keselamatan Kerja
Penyebab
kecelakaan sering sangat kompleks dan umumnya berkaitan satu dengan yang
lainnya. Berbagai teori “tiga faktor” yang menyebutkan bahwa kecelakaan kerja
disebabkan oleh faktor peralatan tehnik, lingkungan kerja dan pekerjaan
sendiri, atau teori “dua faktor” yang membedakan dua golongan kecelakaan yakni
karena tindakan yang berbahaya dan kondisi kerja yang membahayakan. Akan tetapi,
para ahli pada umumnya menekankan bahwa semua kecelakaan kerja, baik langsung
atau tidak langsung, terjadi karena kesalahan manusia, atas dasar asumsi bahwa,
kesalahan dapat dilakukan oleh mereka yang membuat desain, konstruksi,
instalasi, serta kegiatan manajemen, supervise dan seluruh proses produksi
termasuk perlengkapannya.
Secara
terperinci tahun 1930 H.W. Heinrich menyebutkan suatu rankaian faktor penyebab
kecelakaan yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Teori domino mengangap
faktor asal-usul seseorang dan lingkungan sosialnya akan mempengaruhi sikap
serta perilaku dalam melakukan pekerjaan. Sehingga mengakibatkan seseorang
cenderung untuk bekerja ceroboh, tidak berhati-hati dan menjurus kearah kemungkinan terjadinya kesalahan dalam
bekerja.
Selanjutnya,
pada awal tahun 1970, dikemukan teori lain yang menyempurnakan teori domino
yaitu oleh Frank E. Bird dan Peterson.
menurut kedua ahli keselamatan kerja itu, sebab utama kecelakaan adalah akibat
ketimpangan sistem manajeman sedang “ unsafe
condition” (memperbaiki sesuatu) dan
“unsafe action (mengoreksi tindakan manusia yang berbahaya) ” hakikatnya merupakan gejala saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar